JURNAL KEPEMIMPINAN
KEPEMIMPINAN
DALAM
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH ( School Based Management)
Menurut Miftah Thoha (1999), saat ini sedang
berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan. Beberapa perubahan
tersebut antara lain:
a.
Dari orientasi manajemen yang diatur oleh negara ke orientasi pasar. Aspirasi masyarakat
menjadi pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk
mengatasi persoalan yang timbul.
b.
Dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi. Pendekatan
kekuasaan bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan
rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis
c.
Dari sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi
terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara
seimbang.
d.
Sistem pemerintahan yang jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi negara
yang sudah tidak jelas lagi batasnya akibat pengaruh dari tata-aturan global.
Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekankan tata-aturan
nasional saja dan kurang menguntungkan dalam percaturan global Fenomena ini
berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan adalah
sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan
berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat
atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang ditetapkan
oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan
kekhasan daerah.Di samping itu membawa dampak ketergantungan sistem pengelolaan
dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat
(lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan budaya menunggu petunjuk dari
atas.
Dengan demikian desentralisasi
pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat
dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan yang
sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau
masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara.
Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi pendidikan terinci sbb:
· Tuntutan orangtua, kelompok
masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta
mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
· Anggapan bahwa struktur
pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan
partisipasi siswa bersekolah.
· Ketidakmampuan birokrasi
yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan
masyarakat yang beragam.
·
Penampilan kinerja sekolah
dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat.
·
Tumbuhnya persaingan dalam
memperoleh bantuan dan pendanaan. (Nuril Huda, 1999)
Pada era otonomi daerah dan
desentralisasi pendidikan muncul kebijakan program dari Departemen Pendidikan
Nasional, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Program ini merupakan upaya peningkatan mutu pendidikan melalui
pendekatan pemberdayaan sekolah dalam mengelola institusinya. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau
kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan
kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap
dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran
utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas
urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi. Desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu:
a.
Manajemen berbasis lokasi
b.
Pendelegasian wewenang
c. Inovasi kurikulum
KEPEMIMPINAN (Leadership)
Definisi pengembangan kepemimpinan
(leadership development) adalah perluasan kapasitas sesorang untuk menjadi efekortif
dalam peran dan proses kepemimpinan. Peran dan proses kepemimpinan merupakan
peran dan proses yang memungkinkan kelompok orang dapat bekerja bersama dengan
cara yang produktif dan bermanfaat. Ada tiga hal penting dalam definisi
pengembangan kepemimpinan ini, yaitu:
1. Pengembangan
kepemimpinan diarahkan pada pengembangan kapasitas inividu, atau tujuan
utamanya adalah kapasitas individu.
2. Apa
yang membuat seseorang efektif dalam peran dan proses kepimimpinan. Setiap
orang dalam kehidupaannya harus mengambil peran dan berpartisipasi dalam proses
kepemimpinan agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya dalam masyarakat
sekitarnya, oragnisasi dimana mereka bekerja, kelompok professional dimana
mereka diakui keberadaannya, tetangga dimana mereka bermasyarakat, dan
seterusnya.
3. Individu
dapat memperluas kapasitas kepemimpinannya. Kuncinya adalah bahwa setiap orang
bisa belajar, tumbuh, dan berubah. (Cynthia D. McCauley, Russ . Moxley, Ellen
Van Velsor, 1998:4)
Untuk lebih jelasnya, maka perlu kiranya mencermati
dialog antara the manager and the sage dalam buku “Handbook of Leadership
Development”, berikut:
“Is experience
the best teacher?” the bright young asked the sage. “Can I develop as a leader
from experience?”. “Some people have said that experience is the best teacher,”
replied the sage. “But some experiences don’t teach”. “So experience is not the
best teacher?”. “Not exaltly that, “ said the sage. “It is just that not every
experience offers important leadership lessons”. “So where I do learn ? What
experiences will be help to me ?”. “It is the experiences that challenge you
that are development,” the sage responded, “the experiences that stretch you,
that force you to develop new abilities if you are going to survive and
succeed” (1998:1).
Dialog di atas
menunjukkan bahwa pengalaman merupakan faktor yang penting dalam pengembangan
kepemimpinan, walaupun tidak semua pengalaman dapat menjadi guru yang baik. Berdasar
penelitian kunci utama pengembangan kepemimpinan adalah penilaian, tantangan,
dan dukungan. Faktor keturunan
ternyata hanya memberikan sumbangan yang kecil bagi kepemimpinan seseorang,
sebagian besar karena faktor pengalaman sesudah dewasa.
Banyak yang berpendapat bahwa sebuah organisasi akan
efektif, apabila dikelola dengan manajemen yang baik. Pendapat ini tidak salah seluruhnya,
akan tetapi sebenarnya faktor kepemimpinan-lah yang mampu menggerakkan
organisasi menjadi efektif, sementara para manajemen akan menjalankan tugasnya
agar lebih efisien. Selama
beberapa dekade, banyak orang yang menekankan manajemen karena lebih mudah
diajarkan dibanding dengan kepemimpinan. Dengan menekankan pada aspek
manajemen, banyak persoalan yang tidak terlacak dan akan menimbulkan arogansi.
Hal tersebut menyebabkan transformasi organisasi menjadi semakin sulit.
Manajemen
adalah seperangkat proses yang dapat menjaga sistem yang kompleks, terdiri dari
orang dan teknologi dan berjalan secara perlahan. Aspek-aspek terpenting dalam
manajemen meliputi perencanaan, penganggaran, organizing, staffing, pengawasan,
dan pemecahan masalah. Kepemimpinan adalah seperangkat proses yang menciptakan
organisasi mampu mengadaptasi pada lingkungan yang berubah secara signifikan.
Kepemimpinan mendefinisikan seperti apakah masa depan itu, membimbing orang
sesuai dengan visi tersebut, dan memberi inspirasi kepada mereka untuk membuat
hal itu terjadi meskipun banyak hambatan (John P. Kotter, 1996).
Untuk lebih jelasnya akan ditunjukkan dalam bagan tentang
manajemen versus kepemimpinan sebagai berikut:
Manajemen versus Kepemimpinan:
Manajemen versus Kepemimpinan:
Manajemen
· Merencanakan
dan menganggarkan: membuat tahapan-tahapan yang detail dan schedule untuk
pencapaian hasil yang diinginkan, kemudian mengalokasikan sumber-sumber yang
diperlukan untuk pencapaiannya.
· Mengorganisasi
dan staffing: membuat beberapa struktur untuk pelaksanaan unsure-unsur
perencanaan, mengisi struktur tersebut dengan individu-individu, mendelegasikan
tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan rencana tersebut, merumuskan policy
dan prosedur untuk membantu mengarahkan orang, dan membuat metode atau system
untuk memonitor kegiatan.
· Mengawasi
dan memecahkan masalah: memonitor hasil, mengidentifikasi defiasi perencanaan,
kemudian merencanakan dan mengorganisir untuk memecahkan persoalan-persoalan
tersebut.
Kepemimpinan
- Membuat pedoman: mengembangkan visi masa depan – visi jangka panjang – dan strategi-strategi untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan untuk pencapaian visi tersebut.
- Mengarahkan
orang: mengkomunikasikan gagasan dengan kata-kata dan tingkahlaku kepada
semua orang dengan mana kerjasama mungkin diperlukan seperti untuk
mempengaruhi kreasi team dan kerjasama yang memahami visi dan strategi dan
yang menerima validasinya.
- Memotivasi dan memberikan in spirasi: menyemangati orang un tuk memecahkan hambatan-ham batan politis mendasar, birokrasi, dan keterbatasan-keterbatasan sumber daya untuk berubah se suai dengan kepuasan dasar yang merupakan kebutuhan manusia yang sering belum terpenuhi.
PENGEMBANGAN
KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Dengan
diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang SISDIKNAS, maka seluruh institusi yang berkaitan dengan UU tersebut
otomatis harus melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang termaktub di dalamnya.
Sesuai dengan amanat UU tersebut, maka paradigma pendidikan berubah dari yang
bersifat sentralistik menuju ke arah desentralistik.
Perubahan paradigma ini mempunyai
dampak yang luas di bidang pendidikan dan persekolahan di Indonesia.Seluruh
institusi pendidikan siap atau tidak harus mulai merubah dan berubah sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Berlandaskan ketentuan UU No. 20 Tahun 2003
diluncurkan kebijakan tentang persekolahan, yakni Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS).
Sebelum
desentralisasi, beberapa sekolah di Indonesia sudah ada yang melaksanakan
proses Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
secara mandiri dan mereka mampu mengatasi banyak masalah-masalah yang berkaitan
dengan pengembangan sekolah secara internal. Sekarang ini beberapa propinsi di
Indonesia mulai mencoba menerapkan MBS
karena dukungan yang diberikan dari Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan..
Pelaksanaan MBS sekarang terbukti dapat mengubah kebudayaan dan sistem, sehingga sekolah berkembang efektif dan
"sustainable". Terjadi transformasi yang sangat luar biasa
bagi perkembangan sekolah
Seluruh komponen persekolahan, yakni kepala sekolah,
para guru, komite sekolah dan masyarakat harus berbenah diri. terlibat dan
berperan dalam rangka meningkatkan kualitas mutu sekolah. Sesuai
dengan etos MBS peran setiap pihak sangat diperlukan dalam setiap pengambilan
keputusan di sekolah, melalui proses terbuka, diskusi, dan saling tukar pikiran
dalam rangka mendukung guru di lapangan dan proses belajar-mengajar secara
maksimal. Di dalam MBS, tidak ada
peserta (stakeholder) yang dianggap superior. Semua stakeholder, Dewan
Pendidikan, guru baru, atau orangtua yang petani, masing-masing membawa input (pengalaman) dan kebutuhan
mereka ke meja diskusi untuk mencari jalan terbaik bagi keperluan mereka
sendiri.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kebijakan MBS adalah kebijakan yang mendorong kemandirian dan memberdayakan
potensi sekolah-sekolah di Indonesia. Keterlibatan maksimal dari berbagai
pihak, antara lain Kepala Sekolah, guru, orangtua, Dewan Pendidikan, dan Dinas
Pendidikan di daerah benar-benar diharapkan bagi suksesnya MBS dalam
meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
efektivitas institusi sekolah dalam
menerapkan kebijakan MBS dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan.
Berdasar teori di atas, dikatakan bahwa efektivitas organisasi tidak hanya tergantung
dari kemampuan manajerial, melainkan faktor kepemimpinan (leadership). Kemudian,
siapakah yang paling berkepentingan dan siapakah yang harus menjadi pemimpin
(leader) agar kebijakan MBS mencapai tujuannya?
Secara teoritis, semua pihak memang harus
terlibat aktif yakni kepala sekolah, para guru, komite sekolah dan masyarakat
yang peduli. Akan tetapi pada prakteknya, peran Kepala Sekolah dan Komite
Sekolah sangat menentukan; kepemimpinan Kepala Sekolah dan Ketua Komite Sekolah
paling menentukan kebijakan sekolah seperti tanggung jawab pengambilan
keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum.
Dengan melihat tanggung jawab besar tersebut,
maka pengembangan kepemimpinan dari Kepala Sekolah dan Pemilihan Ketua Komite
Sekolah perlu mendapat perhatian yang serius. Kepala Sekolah dan Ketua Komite
Sekolah perlu diperhadapkan pada serangkaian
pengalaman belajar seperti yang mampu pengembangkan kepemimpinannya.
Dalam buku “Handbook Leadership Development” (1998) diungkapkan bahwa hanya
elemen pengalaman yang mengandung penilaian, tantangan, dukungan merupakan
pengalaman yang akan mengembangkan kepemimpinan seseorang.
Namun pada prakteknya, Kepala Sekolah sebenarnya merupakan aktor
yang paling diharapkan berperan sebagai pemimpin dalam MBS untuk mewujudkan
visi menjadi misi yang feasible bagi
peningkatan pelayanan dan kualitas sekolah. Pihak-pihak lain seperti, komite
sekolah, para guru, orangtua, dewan pendidikan dan dinas pendidikan diharapkan
menyumbang pada pengembangan kepemimpinan Kepala Sekolah dalam hal, penilaian,
tantangan, dan dukungan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dharma. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. hhtp://www.ed. Manajemen Berbasis
Sekolah.html
American Association of School
Administrators, National Association of Elementary School Principals, and
National Association of Secondary School Principals. 1988. School-Based Management: A Strategy for
Better Learning. Arlington, Virginia.
Cynthia D. McCauley, Russ S. Moxley, Ellen
Van Velsor. 1998. The Centre For
Creative Leadership: Handbook of Leadership Development. San Francisco:
Jossey-Bass Publisher
Kotter, John. 1996. Leading Change. Boston, Massachusetts: Harvard Business School
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar